PENGUMPULAN DATA
A.   
PENDAHULUAN
1.     
Pengantar
Dalam
suatu penelitian, hal yang menjadi perhatian utama tentunya bagaimana seorang
peneliti dapat mengumpulkan data yang memang dibutuhkan dan sesuai dengan apa
yang akan diteliti. Hal ini tentu sangat penting karena dengan pengumpulan data
ini seorang peneliti akan mendapat data-data yang nantinya akan diolah sehingga
menentukan hasil penelitian.
Teknik-teknik
ataupun instrumen yang akan digunakan perlu ditetapkan, diidentifikasikan, dan
diklarifikasikan. Penggunaan satu atau beberapa instrumen penelitian tentu
bergantung kebutuhan untuk mendapatkan data dalam penelitian.
Dengan
penggunaan instrumen yang benar-benar baik serta di rumuskan serta disusun
dengan akurat, maka tentunya ini akan menjadi faktor utama dalam menentukan
data yang akan diperolrh nantinya. Banyak pertimbangan dalam pemilihan
instrumen serta penyusunan instrumen penelitian itu sendiri. Ini agar instrumen
mampu memberi atau menjawab apa yang dibutuhkan dalam suatu penelitian.
Sebelum
instrumen dapat digunakan, tentunya perlu diuji dahulu apakah instrumen
tersebut layak dan mampu mengukur, menilai dan mengungkapkan aspek-aspek yang
ingin diungkap oleh peneliti. Dengan uji validitas dan reliabilitas pada
instrumen sebelum penggunaannya tentu akan menjadikan instrumen tersebut lebih
baik dan layak dalam penggunaannya.
2.     
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk
menambah wawasan penulis dan peserta diskusi mengenai teknik pengumpulan data,
instrumen pengumpulan data hingga pengukuran validitas dan reliabilitas
instrumen pengumpul data.
b.      Untuk
memenuhi salah satu syarat perkuliahan pada mata kuliah Metode Penelitian
Lanjutan yang akan disampaikan pada sesi diskusi.
B.    
PENGUMPULAN
DATA
Dalam
penelitian, pengumpulan data merupakan faktor penting demi keberhasilan
penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara mengumpulkan data, siapa
sumbernya, dan apa alat yang digunakan.
Jenis
sumber data adalah mengenai dari mana data diperoleh. Apakah data diperoleh
dari sumber langsung (data primer) atau data diperoleh dari sumber tidak
langsung (data sekunder). Sementara itu, metode pengumpulan data merupakan
teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data. Metode menunjukkan
suatu cara sehingga dapat diperlihatkan penggunaannya melalui angket,
wawancara, pengamatan, tes, dokumentasi dan sebagainya. Sedangkan instrumen
pengumpulan data merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Karena
berupa alat, maka instrumen dapat berupa lembar cek list, kuesioner (angket terbuka/tertutup),
pedoman wawancara, camera foto, dan lainnya. 
Dalam
pengumpulan data, yang perlu diperhatikan adalah berbagai langkah penelitian
yang sebelumnya telah disusun dengan baik. Jika peneliti tidak mengelaborasi
unsur-unsur sebelumnya dengan baik, atau memilih instrumen penelitian sebelum
merumuskan masalah, maka peneliti akan digiring oleh instrumen tersebut pada
tujuan yang dirumuskan oleh penyusun instrumen tersebut. 
C.  
Teknik
Pengumpulan Data
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, teknik atau metode pengumpulan data merupakan
teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian. 
1.     
Kuantitatif
Secara
umum teknik-teknik pengumpulan data yang dapat digunakan peneliti dalam
penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut.
a)      Kuesioner
Kuesioner berasal dari bahasa
Latin: Questionnaire, yang berarti
suatu rangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan topik tertentu, diberikan
kepada sekelompok individu dengan maksud memperoleh data (Muri Yusuf, 2013:
199). Tujuan utama penggunaan kuesioner dalam penelitian adalah, 1) memperoleh
informasi yang lebih relevan dengan tujuan penelitian; 2) mengumpulkan
informasi dengan reliabilitas dan validitas yang tinggi.
Dalam menyusun instrumen kuesioner
ada 8 pertanyaan yang perlu mendapat perhatian peneliti, yaitu:
1)      Apakah
butir itu diperlukan ?
2)      Apakah
butir itu akan dianalisis ?
3)      Apakah
butir itu relevan ?
4)      Bagaimanakah
caranya pertanyaan itu akan diolah ?
5)      Teknik
manakah yang cocok untuk itu ?
6)      Apakah
dengan pertanyaan yang ada pokok masalah yang diajukan telah terjawab ?
7)      Apakah
masing-masing sub-sub variabel sudah terwakili ?
8)      Apakah
kuesioner itu sesuai dengan responden penelitian ?
Dalam
kuesioner, ada beberapa pembagian yang dapat dilihat melalui isi kuesioner itu
sendiri.
1)      Pertanyaan
fakta dan informasi
Berkaitan dengan pengetahuan siap yang diketahui
responden tentang sesuatu yang ingin diselidiki. Pertanyaan ini menekankan pada
fakta dan informasi yang tersedia.
2)      Pertanyaan
pendapat dan sikap
Pertanyaan ini mengarah kepada pertanyaan tentang
perasaan, kepercayaan, dan preposisi serta nilai-nilai.
3)      Pertanyaan
perilaku
Pertanyaan ini mengacu kepada perbuatan dan tindakan
seseorang dalam kaitannya terhadap yang lain.
Dari
sisi bagaimana kuesioner itu diadministrasikan kepada responden, kuesioner dapat
pula dibedakan kepada, 1) kuesioner yang dikirimkan dengan pos (Mail
Questionaire); 2) kuesioner yang dibagikan langsung kepada responden.
Menurut
jenisnya, kuesioner dapat pula dibedakan atas tiga bentuk, yaitu:
1)      Kuesioner
Tertutup
Dalam kuesioner tertutup, alternatif jawaban sudah
ditentukan terlebih dahulu. Responden hanya memilih dari alternatif yang telah
disediakan.
2)      Kuesioner
Terbuka
Bentuk ini memberikan kesempatan kepada responden
untuk mengemukakan pendapatnya yang sesuai dengan pandangan dan kemampuan
masing-masing.
3)      Kuesioner
Tertutup dan Terbuka
Kuesiner ini dapat menghilangkan kelemahan kuesioner
terbuka dan kuesiner tertutup. Dalam bentuk gabungan ini, alternatif jawaban
sebagian besar disediakan oleh peneliti. Pada bagian akhir setiap pilihan
jawaban selalu disediakan satu atau dua tempat yang dikosongkan sehingga
responden mempunyai kesempatan untuk mengisi jawaban yang sesuai dengan
keadaannya, kalau alternatif yang disediakan belum sesuai dengan yang
diinginkannya.
Kesahihan
dan keterandalan alat pengumpul data merupakan salah satu modal dalam
mengungkapkan dan mencari penemuan yang lebih berarti dalam suatu penelitian.
Keterwakilan atau tidaknya aspek-aspek yang diteliti secara keseluruhan sangat
menentukan ketepatan dan keakurantan hasil penelitian yang digunakan.
Menurut
Muri Yusuf (2013; 206-211) langkah-langkah sederhana dalam menyusun instrumen
(kuesioner) adalah sebagai berikut:
1)     
Tinjau
kembali secara tuntas apakah hubungan antar masalah, tujuan, dan
hipotesis/pertanyaan penelitian sudah jelas.
                                                             
i.     Apakah tujuan
yang akan dicapai betul-betul telah dituangkan dalam hipotesis/pertanyaan
penelitian yang benar sehingga jelas data yang akan dikumpulkan
                                                           
ii.     Apakah variabel
sudah benar, baik menurut jenis maupun logika urutannya.
                                                         
iii.     Apakah variabel
sudah dijabarkan dengan rinci dan benar sehingga mudah dialihkan menjadi
instrumen ?
2)     
Formulasikan
pertanyaan atau butir soal dengan baik dan benar, serta sesuai dengan data yang
dibutuhkan. Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan dalam memformulasikan butir
pertanyaan.
                                                             
i.     
Tanyakan
data dan informasi yang dibutuhkan dan terkait dengan tujuan penelitian, tetapi
jangan kumpulkan data yang tidak berguna dan tidak akan diolah.
                                                           
ii.     
Gunakan
bahasa yang baik dan benar sesuai dengan kaidah yang berlaku dan tingkat kemampuan
responden
                                                         
iii.     
Nyatakan
pertanyaan dengan jelas dan spesifik
                                                         
iv.     
Hindarilah
pertanyaan yang panjang, dan kabur. Usahakan untuk dapat dipersingkat tetapi
tidak mengurangi arti pertanyaan/pernyataan tersebut.
                                                           
v.     
Tetapkan
kerangka tujuan pertanyaan dalam pikiran peneliti, sehingga menyumbang kepada
hasil penelitian.
                                                         
vi.     
Jangan
mengasumsikan bahwa responden mempunyai informasi faktual atau mempunyai
pendapat dari tangan pertama.
                                                       
vii.     
Tentukan
terlebih dahulu apakah peneliti akan menggunakan pertanyaan langsung atau
pertanyaan tidak langsung
                                                     
viii.     
Tentukan
terlebih dahulu, apakah yang dibutuhkan pertanyaan umum atau pertanyaan khusus
                                                         
ix.     
Tetapkan
terlebih dahulu apakah akan digunakan bentukpertanyaan terbuka atau pertanyaan
tertutup atau kombinasi keduanya.
                                                           
x.     
Lindungi
ego responden dengan mengajukan pertanyaan yang melibatkan dirinya.
                                                         
xi.     
Hindari
kata-kata yang meragukan atau kata-kata yang tidak ada gunanya
                                                       
xii.     
Setiap
butir pertanyaan hendaklah dinyatakan dengan ringkas, jelas dan utuh
                                                     
xiii.     
Susun
pertanyaan yang tidak memaksa atau mengarahkan responden untuk menjawab ke satu
arah
                                                     
xiv.     
Hindari
kata-kata yang bersifat emosional dan sentimentil
                                                       
xv.     
Dalam
setiap pertanyaan hanya terdapat satu konsep atau suatu ide yang ditanyakan.
                                                     
xvi.     
Tanyakan
dulu yang lebih sederhana, kemudian secara bertahap lanjutkan dengan lebih kompleks
                                                   
xvii.     
Hindari
jawaban yang dipengaruhi oleh gaya bahasa atau bentuk jawaban tertentu.
                                                 
xviii.     
Jika
ada pertanyaan yang spesifik, sebaiknya kata-kata itu digaris bawahi atau
dimiringkan.
                                                     
xix.     
Kategori
responden hendaklah mudah dipahami.
                                                       
xx.     
Upayakan
perwajahan kuesioner menarik perhatian responden
                                                     
xxi.     
Beri
pengantar dan petunjuk pengisian
b)      Skala
Teknik
skala ini memberikan hasil yang cukup berarti jika peneliti dapat memilih tipe
yang tepat sesuai dengan jenis data yang akan dikumpulkan serta tujuan
penelitian yang telah dirumuskan. Langkah-langkah dalam penyusunan skala yang
benar adalah sebagai berikut:
1)      Melakukan
studi literatur dan kemudian menentukan dengan jelas aspek komponen dan dimensi
serta spesifikasi objek penelitian.
2)      Menyusun
berbagai indikator yang dapat diamati sesuai dengan aspek-aspek yang diukur.
Bebrapa teknik skala yang sering digunakan
dalam penelitian adalah:
1)      Skala
Likert
Skala
ini dikembangkan oleh Rensis Likert, yang merupakan suatu butir soal. Responden
hanya memberikan persetujuan atau ketidaksetujuannya terhadap butir soal
tersebut. Skala ini dimaksudkan untuk mengukur sikap individu dalam dimensi
yang sama dan individu menempatkan dirinya ke arah satu kontinuitas dari butir
soal. Langkah-langkah penyusunan skala Likert adalah:
                                                                  
i.         
Komposisikan butir soal dalam satu
kesatuan
· Susun
sejumlah soal yang memiliki dimensi yang sama dalam suatu urutan soal.
· Pernyataan
positif dan negatif hendaklah seimbang jumlahnya.
· Urutan
pernyataan positif dan negatif dilakukan secara acak
                                                                
ii.         
Pemilihan alternatif jawaban
· Tentukan
berapa alternatif (choices) yang akan digunakan.
· Alternatif
yang digunakan hendaklah lebih mudah dipahami responden dan memberikan
semaksimal mungkin data yang diperlukan.
                                                              
iii.         
Tata urutan butir soal dan persiapan
pengadministrasian
· Tiap
butir soal dalam instrumen hendaklah ditetapkan secara acak.
· Berikan
waktu secukupnya, sehingga setiap responden mengisi semua butir soal sesuai
dengan keadaan sebenarnya.
· Format
dan perwajahan instrumen adalah sesuatu yang penting
                                                              
iv.         
Pemberian skor
Dalam memberikan nilai
pada sikap tertentu yang diteliti, peneliti hendaklah memberikan skor pada
semua butir soal yang digunakan. Pada butir soal yang tidak diisi oleh
responden maka skor yang bersangkutan adalah nol.
2)      Skala
Thurstone
Skala
ini dikembangkan oleh Louis Leon Thurtone, seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan
Amerika dan pioner dalam pengukuran mental. Berbeda dengan skala Likert, skala
Thurstone ini bertujuan ingin mengurutkan responden berdasarkan ciri-ciri
tertentu. Skala ini tidak terlalu mudah disusun namun mempunyai reliabilitas
yang tinggi. Dalam penyusunan skala Thurstone, ada bebrapa langkah yang perlu
dipedomani, yaitu:
                                                                  
i.         
Menentukan komposisi dalam satu pool
·      Susun
dan atau kumpulkan suatu set pernyataan yang unidimensional. Jumlah soal yang
ideal antara 100 dan 200butir soal.
·      Boleh
pernyataan positif maupun pernyataan negatif
·      Susun
pernyataan unidimensional dan yang bersifat menyatakan sesuatu itu pada suatu
kartu untuk setiap soal.
                                                                
ii.         
Pemilihan penimbangan dan pertimbangna
·      Rumuskanlah
populasi penelitian
·      Pilih
dari populasi yang sama, penimbang/juri yang akan membantu pengembangan butir
soal
·      Jumlah
penimbang sebaiknya sebanyak mungkin, antara 40-100 orang
·      Kepada
penimbang diharapkan mengelompokkan butir soal yang terdapat dalam kartu ke
dalam 11 kelompok dan memberi skor 1 sampai sebelas atau dari tidak
menyenangkan (skor 1) sampai sangat menyenangkan (skor 11)
                                                              
iii.         
Penyekoran pertimbangan atau penaksiran
skala interval
·      Kumpulkan
semua pertimbangan untuk tiap-tiap pernyataan atau butir soal
·      Distribusikan
setiap pernyataan, dan pernyataan yang nilainya sangat menyebar dibuang.
Sedangkan skor nilai yang agak bersamaan digunakan untuk membuat skala.
·      Hitung
median dari nilai-nilai untuk digunakan sebagai dasar perhitungan
·      Nilai
butir soal ditentukan dengan menghitung niali median untuk penempatan frekuensi
penilai
·      Tentukan
berapa panjang skala dan berapa banyak butir soal.
·      Setelah
ukuran skala ditentukan, pilihlah soal sebanyak yang dibutuhkan, berdasarkan
interval yang sama.
·      Bentuk
paralel dapat disusun dengan memilih butir soal lain berdasarkan interval yang
sama pula
                                                              
iv.         
Persiapan pengadministrasian dan penskoran
·      Suatu
butir soal hendaklah dipilih dari sejumlah pool soal-soal yang lebih luas.
·      Padasetiap
butir soal hendaklah disediakan tempat untuk responden menyatakan setuju atau
tidak setuju pada pernyataan tersebut
·      Penskoran
dilakukan dengan membuat tanda pada butir soal bahwa responden setuju dengan
pernyataan tersebut.
3)      Skala
Guttman
Skala
Guttman (Scalaogram Analysis) dikembangkan oleh Louis Guttman dan lebih rumit
dari skala Libert dan Thurstone. Skala ini merupakan skala kumulatif dan
ordinal. Skala ini hanya mengukur satu dimensi saja dari satu variabel yang
multi dimensi. Langkah-langkah dalam penyusunan Skala Guttman adalah:
                                                    
i.         
Susunlah sejumlah pernyataan yang sesuai
dengan masalah yang akan diselidiki dengan terlebih dahulu menentukan sub-sub
variabelnya dalam satu pool.
·      Susun
pernyataan deskriptif mengenai universe yang diselidiki
·      Butir-butir
soal hendaklah mewakili sikap yang diukur
·      Tempatkan
soal itu dengan baik dalam sheet dengan dua kemungkinan jawaban “ya” atau
“tidak”
                                                  
ii.         
Uji coba skala
·      Administrasikan
skala itu pada sampel, yang diperkirakan memiliki karakteristik yang hampir
sama dengan populasi penelitian
·      Semua
butir soal diskor dengan cara yang telah ditentukan terlebih dahulu
·      Skor
ditentukan untuk tiap responden. Umumnya tiap responden adalah jumlah jawaban
yang positif
                                                
iii.         
Penyusunan skala
·      Susun
suatu chart, dengan butir soal dan daftar responden sebelah kiri
·      Setelah
semua responden selesai diskor, maka selanjutnya mengatur/menyusun kembali
menurut ranking, dengan tidak memperbaiki latak butir soal.
·      Setelah
semua responden diurutkan, maka langkah berikutnya adalah mengatur kembali
butir soal dengan menempatkan pada kolom pertama butir soal yang paling banyak
mendapat jawaban “ya” dan seterusnya.
·      Kegiatan
selanjutnya adalah menghitung index reprodusibilitas. Index ini dihitung untuk
menentukan apakah respon yang diberikan menunjukkan kualitas yang kuat dalam
kaitan dengan total skor yang tertinggi. Untuk menghitung index ini dapat
digunakan rumus:
 
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 
 
 
 
·      Jika
index reprodusibilitas kecil dari 0,9 maka skala itu tidak memuaskan untuk
digunakan
·      Index
reprodusibilitas hanya mengukur ketepatan alat yang dibuat, sedangkan koefesien
skalabilitas menunjuk kepada baik tidaknya skala itu digunakan.
·      Langkah
selanjutnya menghitung koefisien skalabilitas dengan rumus: 
 
 (m= jumlah
total kesalahan, yaitu jumlah respon dikurangi total jawaban “ya”)
·      Jika
index skalabilitas besar dari 0,6 maka skala itu dianggap baik untuk digunakan.
4)   Skala
Perbedaan Semantik
Skala  ini dikembangkan oleh Osgood, Suci dan
Tannenbaum untuk mengukur pengertian seseorang tentang konsep atau objek.
Setiap responden diminta untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu
skala bipolar dengan tujuh titik. Langkah-langkah dalam menyusun skala
Perbedaan Semantik adalah:
                                                             
i.         
Pilih konsep yang akan dinilai
·      Konsep
tersebut hendaklah relevan dengan topik peneliti
·      Konsep
itu harus sensitif untuk membedakan kesamaan antara kelompok.
                                                           
ii.         
Pilih kata-kata ajektif berpasangan
·      Kata-kata
ajektif itu berlawanan (bipolar)
·      Sifat
berlawanan itu tidak dimunculkan hanya dengan menambahkan kata tambahan
“tidak”, kecuali tidak ada pilihan yang lain
·      Penempatan
kata-kata dalam skala dilakukan secara random.
                                                         
iii.         
Penempatan kata-kata dalam skala
dilakukan secara random.
c)      Tes
Tes adalah alat pengukur yang mempunyai standar yang obyektif sehingga
dapat digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul digunakan untuk mengukur
dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu.
Dalam dunia evaluasi pendidikan, yang dimaksud dengan
tes adalah cara atau prosedur dalam pengukuran dan penilaian di bidang
pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas/baik berupa
pertanyaan-pertanyaan (yang harus dijawab), atau perintah-perintah oleh testee,
sehingga dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah laku atau prestasi
siswa dan nilai yang mana dapat dibandingkan dengan nilai-nilai yang dicapai
oleh siswa lainnya, atau dibandingkan dengan nilai standar tertentu.
1)     
Macam-macam tes
                                                                  
i.         
Tes benar-salah (true-false)
                                                                
ii.         
Tes pilihan ganda (multiple choice test)
                                                              
iii.         
Menjodohkan (matching test)
                                                              
iv.         
Tes isian (completion test)
2)     
Bentuk – bentuk tes
                                                                     
i.           
Tes Subjektif
Pada umunya
berbentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah sejenis tes kemajuan belajar
yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Kebaikan
tes subjektif :
·     
Mudah disiapkan dan disusun
·     
Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi
atau untung-untungan
·     
Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat
serta menyusun dalam bentuk kalimat yang bagus
·     
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan
maksudnya denga gaya bahasa dan cara sendiri
·     
Dapat diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu
masalah yang diteskan
Kelemahan tes subjektif :
·     
Kadar validitas dan realibilitasnya rendah karena
sukar diketahui segi-segi mana dari siswa yang betul-betul telah dikuasai
·     
Kurang representative dalam hal mewakili seluruh scope
bahan pelajaran yang akan dites karena soalnya hanya beberapa buah saja
·     
Kurang representative dalam hal mewakili seluruh scope
bahan pelajaran yang akan dites karena soalnya hanya beberapa buah saja
·     
Cara pemeriksaannya banyak dipengaruhi oleh
unsur-unsur subjektif
·     
Pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan
pertimbangan individual
·     
Waktu untuk mengoreksinya lama dan dapat diwakilkan
kepada orang lain.
                                                                   
ii.           
Tes Objektif
Tes objektif
adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif. Hal ini
memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes bentuk esai. Kebaikan
tes objektif :
·        
Mengandung lebih banyak segi-segi yang positif, lebih
representative mewakili isi yang luas
·        
Lebih mudah dan cepat cara pemeriksaannya
·        
Pemeriksaannya dapat diserahkan kepada orang lain
·        
dalam pemeriksaannya tidak ada unsur subjektif yang
mempengaruhi.
Kelemahan tes objektif:
·        
Persiapan untuk menyusunnya jauh lebih sulit daripada
esai karena soalnya banyak dan harus teliti untuk menghindari
kelemahan-kelemahan yang lain
·        
Soal-soalnya cenderung untuk mengungkapkan ingatan dan
daya pengenal kembali saja, dan sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi
·        
Banyak kesempatan untuk main untung-untungan
·        
“Kerja sama” antar siswa pada waktu mengerjakan soal
tes lebih terbuka
2.     
Kualitatif
Secara
umum teknik-teknik pengumpulan data yang dapat digunakan peneliti dalam
penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut.
a)      Wawancara
Wawancara
merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian kualitatif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa wawancara adalah
suatu kejadian atau suatu proses interaksi antara pewawancara dengan sumber
informasi melalui komunikasi langsung. 
1)      Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Wawancara
Menurut
Warwick-Lininger (Muri Yusuf, 2013;376), ada empat faktor yang menentukan
keberhasilan dalam percakapan tatap muka maupun percakapan melalui media.
Keempat faktor tersebut adalah:
                                                    
i.         
Pewawancara
Beberapa karakteristik
yang harus dimiliki pewawancara:
·      Kemampuan
dan keterampilan mewawancarai sumber informasi
·      Kemampuan
memahami dan menerima serta merekam hasil wawancara.
·      Karakteristik
sosial pewawancara
·      Rasa
percaya diri dan motivasi yang tinggi
·      Rasa
aman yang dimiliki.
                                                  
ii.         
Sumber Informasi
Beberapa
hal yang perlu dan diperluakan dari sumber informasi adalah: 
·      Kemampuan
memahami/menangkap pertanyaan dan mengolah jawaban dari pertanyaan yang diajukan
pewawancara.
·      Karakteristik
sosial (siakp, penampilan, relasi/hubungan) sumber informasi.
·      Kemampuan
untuk mengemukakan pendapat.
·      Rasa
aman dan percaya diri.
                                                
iii.         
Materi Pertanyaan
Faktor
yang penting dipahami dalam isi/materi pertanyaan adalah:
·      Tingkat
kesukaran materi yang ditanyakan hendaklah dalam ruang lingkup kemampuan sumber
informasi. Jangan terlalu sukar dan jangan terlalu mudah.
·      Kesensitifan
materi pertanyaan. Peneliti hendaklah menyadari hal-hal yang menyangkut moral,
agama, ras atau kedirian tiap sumber informasi yang selalu mengundang
subjektif, keengganan atau kepenolakan untuk memberikan jawaban.
                                                
iv.         
Situasi Wawancara
Dalam situasi wawancar,
sekurang-kurangnya ada empat kondisi yang perlu diperhatikan.
·      Waktu
pelaksanaan
·      Tempat
pelaksanaan
·      Keadaan
lingkungan pada waktu wawancara
·      Sikap
masyrakat
Keempat komponensial tersebut saling
berpengaruh dan berinteraksi sehingga menunjang dan mungkin juga menghambat
pencapaian tujuan wawancara. 
2)      Jenis
Wawancara
Meskipun
wawancara merupakan percakapan tatap muka, namun jika ditinjau dari bentuk
pertanyaan yang diajukan maka wawancara dapat dikategorikan atas tiga bentuk
yaitu:
                                                    
i.         
Wawancara terencana-terstruktur
Wawancara
jenis ini adalah suatu bentuk wawancara dimana pewawancara dalam hal ini
peneliti menyusun secara terperinci dan sistemis rencana atau pedoman
pertanyaan menurut pola tertentu dengan menggunakan format yang baku. Dalam hal
ini pewawancara hanya membacakan pertanyaan yang telah disusun dan kemudian
mencatat jawaban sumber informasi secara tepat
                                                  
ii.         
Wawancara terencana-tidak terstruktur
Wawancara
jenis ini adalah apabila peneliti/pewawancara menyusun rencanawawncara yang
mantap, tetapi tidak menggunakan format dan urutan yang baku.
                                                
iii.         
Wawncara bebas
Wawancara jenis ini
berlangsung secara alami, tidak diikat atau diatur oleh suatu pedoman, atau
oleh suatu format yang baku.
3)      Aturan
Umum Wawancara
Beberapa
aturan umum yang perlu diperhatikan pewawancara adalah sebagai berikut:
                                                    
i.         
Penampilan dan sikap
Pakaian
yang digunakan pewawancara janganlah mencolok atau terlalu berlebihan
dibandingkan dengan keadaan sumber informasi, tetapi jangan pula terlalu buruk
dan lusuh.
                                                  
ii.         
Pewawancara hendaklah terbiasa dengan
model pertanyaan yang akan disampaikan
Untuk
ini diperlukan latihan penyampaian informasi lebih dini sesuai dengan
model-model yang akan disampaikan di lapangan. Pewawancara secara bertahap dan
teratur dibiasakan dengan model-model tersebut.
                                                
iii.         
Ikuti kata-kata dalam pertanyaan dengan
tepat
Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari perubahan pada isi pertanyaan.
                                                
iv.         
Catat jawaban pertanyaan secara tepat
dan benar
Apabila
pertanyaan yang diajukan berbentuk terbuak maka pewawancara hendak mencatat
data sesuai dengan jawaban yang diberikan sumber informasi secara tepat dan
dalam konteks yang sebenarnya. Pewawancara dilarang untuk membuat kesimpulan
dan ringkasan tentang apa yang dikemukakan sumber informasi, atau membetulkan
apa yang dianggap salah dari jawaban narasumber.
                                                  
v.         
Bila jawaban belum jelas, gunakan teknik
menjaring/probing
Teknik
probing adalah teknik menggali informasi lebih dalam sehingga terdapat jawaban
yang lebih spesifik, tepat dan makna lebih jelas
4)      Penyusunan
Pedoman Wawancara
Langkah-langkah dalam
menyusun materi yang akan ditanyakan dalam wawancara adalah:
                                                    
i.         
Melakukan studi literatur untuk memahami
dan menjernihkan masalah secara tuntas.
·      Menentukan
“domain” yang mewakili masalah yang sebenarnya
·      Mengidentifikasi
sampel secara lebih terperinci, termasuk dalam hal ini alamat sumber informasi
serta identitas lainnya
·      Menentukan
tipe wawancar yang akan digunakan
                                                  
ii.         
Menentukan bentuk pertanyaan wawancara
·      Apakah
menggunakan bentuk langsung atau tidak langsung
·      Apakah
yang ditanyakan fakta atau pendapat
·      Apakah
berupapertanyaan atau pendapat
                                                
iii.         
Menentukan isi pertanyaan wawancara
·      Nyatakan
pertanyaan dalam urutan yang jelas
·      Mulai
dari pertanyaan fakta dan sederhana
·      Setelah
urutan ditentukan, gunakan bahan yang tidak meragunak dalam bentuk yang khusus
sehingga dapat dipahami sumber informasi
·      Pewawancara
jangan mencoba berkomunikasi sebagai responden karena akan mengurangi rasa
hormat dari sumber informasi
·      Hindari
pertanyaan yang membimbing.
5)      Prosedur
Wawancara
Wawancara
merupakan suatu proses tatap muka antara dua orang yang juga merupakan suatu
interaksi sosial dan hubungan fungsional. Beberapa pedoman yang perlu
diperhatikan dalam wawancara.
                                                    
i.         
Harus diingat bahwa wawancara itu bukan
percakapan biasa. Pewawancar hendaklah menciptakan situasi yang menyenangkan
dan sdara akan fungsinya.
                                                  
ii.         
Memilih waktu yang tepat, dimana waktu
yang telah disepakati oleh pewawancara dan sumber informasi agar tidak
mengganggu kegiatan sumber informasi
                                                
iii.         
Andaikata pewawancara tidak dapat
melaksanakan wawancara pada waktu yang telah disepakati, maka komunikasikanlah
dengan sumber informasi dengan baik dan minta waktu lain untuk dapat melakukan
wawancara.
b)      Observasi
Teknik
observasi ini merupakan teknik yang digunakan untuk mengetahui atau menyelidiki
tingkah laku non verbal. Apabila mengacu pada fungsi pengamat dalam kelompok
kegiatan, maka observasi dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu:
1)      Participant observer,
yaitu suatu bentuk observasi dimana pengamat secara teratur berpartisipasi dan
terlibat dalam kegiatan yang diamati.
2)      Non-participant observer,
yaitu suatu bentuk observasi dimana pengamat tidak terlibat langsung dalam
kegiatan yang diamati.
Kunci
keberhasilan observasi sebagai teknik pengumpulan data sangat banyak ditentukan
pengamat itu sendiri, sebab pengamat melihat, mendengar bahkan merasakan apa
yang diteliti dan kemudian menyimpulkan dari apa yang diamati itu. 
Apabila
peneliti telah menetapkan bahwa observasi merupakan teknik pengumpul data yang
tepat untuk digunakan, maka setidaknya ada tiga hal yang perlu mendapat
perhatian dari pengamat yaitu:
1)      Apa
yang diamati
2)      Bagaimana
mencatat hasil pengamatan
3)      Berapa
banyak kesimpulan pengamat dilibatkan
Apabila
yang diamati itu adalah tingkah laku individu, maka perlu diperhatikan manakah
yang menjadi fokus observasi. Menurut Simons dan Bayer (Muri Yusuf, 2013;388)
ada beberapa kelas tingkah laku, yaitu:
1)      Afektif
Berkaitan
dengan aspek emosional dalamberkomunikasi, menerima atau menolak keseluruhan
tingkah laku individu, serta dalam menerima dan mempertimbangkan ide seseorang
2)      Kognitif
Berkenaan
dengan komponensial, intelektual dalam berkomunikasi.
3)      Psikomotor
Berfokus
pada tingkah laku orang yang berkomuniasi, bukan pada kata-kata yang digunakan.
Observasi diarahkan pada postur tubuh, posisi, ekspresi muka, gerakan tangan
dan sebagainya.
4)      Prosedur,
Rutinitas dan Kontrol
Kategori
ini difokuskan pada “apa yang dibicarakan” atau “orang sedang membicarakan
apa”. Apakah individu itu siap bekerja, siap ikut serta dan bagaimana dengan
isi yang dibicarakan.
5)      Lingkungan
fisik observasi
Berkaitan
dengan ruangan dimana observasi itu berlangsung serta tempat mencatat material
spesifik yang digunakan.
6)      Struktur
sosiologis
Kategori
ini berfokus pada “siapa sedang bicara kepada siapa”, peranan yang diamati,
umur, jenis kelamin, ras, kepada siapa ia tertarik, dan sebagainya.
7)      Aktivitas
Dalam kategori ini
difokuskan pada aktivitas dimana orang tertarik atau terikat, seperti membaca,
melihat film, dan sebagainya.
D.  
Validitas
Menurut
Azwar (1986) Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh
mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. 
Suatu
skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi
apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil
ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes
yang memiliki validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan
tujuan pengukuran.
Terkandung
di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur tergantung
pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki
dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian
memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur
yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A
akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan B, dikatakan
sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan
tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).
Sisi
lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat
ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga
harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.
Cermat
berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai perbedaan yang
sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh,
dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah
cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil
penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan
memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat
cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak
akan terlihat pada alat ukur berat badan.
Menggunakan
alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi
tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan
kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang
kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang
sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar 1986). 
Ebel
(dalam Nazirz 1988) membagi validitas menjadi :
a)      Concurrent
Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan
kinerja. 
b)      Construct
Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa
yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk
tertentu dapat menyebabkan kinerja yang baik dalam pengukuran.
c)      Face
Validity adalah validitas yang berhuubungan apa yang nampak dalam mengukur
sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur.
d)     Factorial
Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan
faktor-faktor yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku
lainnya, di mana validitas ini diperoleh dengan menggunakan teknik analisis
faktor.
e)      Empirical
Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan
suatu kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan
apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran.
f)       Intrinsic
Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba
untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bhwa suatu alat
ukur benar-benar mengukur apa yang seharusny diukur.
g)      Predictive
Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat
ukur dengan kinerj seorang di msa mendatang.
h)      Content
Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari
suatu populasi.
i)       
Curricular Validity adalah validitas
yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa
jauh pungukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur
aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional.
1.      Jenis-jenis
Validitas
Sementara
itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu:
a)      Content
validity (Validitas isi)
Adalah
validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan
analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah
“sejauh mana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi
objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?” atau berhubungan
dengan representasi dari keseluruhan kawasan. 
Validitas
isi suatu instrumen berkaitan dengan kesesuaian antara karakteristik dari
variaabel yang dirumuskan pada definisi konseptual dan operasionalnya. Apabila
semua karakteristik variabel yang dirumuskan pada definisi konseptualnya dapat
diungkap melalui butir-butir suatu instrument, maka instrument itu dinyatakan
memiliki validitas isi yang baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak akan pernah
tercapai karena sulitnya untuk mendefinisikan keseluruhan karakteristik itu.
Selain itu, dari seluruh karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual
suatu variabel seringkali sulit untuk mengembangkan butir-butir yang valid untuk
mengungkap atau mengukurnya.
Validitas
isi dapat dianalisis dengan cara memperhatikan penampakan luar dari instrument
dan dengan menganalisis kesesuaian butir-butirnya dengan karakteristik yang
dirumuskan pada definisi konseptual variabel yang diukur. Validitas yang
dianalisis dengan memperhatikan penampilan luar instrument itu disebut
validitas tampang (face validity). Validitas tampang dievaluasi dengan membaca
dan menyelidiki butir-butir instrument serta sekaligus membandingkannya dengan
definisi konseptual mengenai variabel yang akan diukur. Validitas yang
dianalisis dengan memperhatikan kerepresentativan butir-butir instrument
disebut validitas penyampelan (sampling validity) atau kuikulum (curriculum
validity). Validitas tampang maupun penyampelan disebut juga sebagai validitas
teoritis karena penganalisisannya lazim dilakukan tanpa didasarkan pada data
empiris. Alat yang digunakan untuk menganalisis validitas itu adalah logika
dari orang yang menganalisisnya. 
Validitas
isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan
analisis rasional atau lewat professional judgement. Pertanyaan yang dicari
jawabannya dalam validitas ini adalah ”sejauh mana item-item dalam tes mencakup
keseluruhan kawasan ini (dengan catatan tidak keluar dari batasan tujuan ukur)
objek yang hendak diukur” atau ”sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut
yang hendak diukur”. 
Selanjutnya,
validitas isi terbagi lagi menjadi dua tipe, yaitu:
1)                
Face Validity (Validitas Muka) adalah
tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada
penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak
sesuai dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan maka validitas muka
telah terpenuhi.
2)                
Logical Validity (Validitas Logis)
disebut juga sebagai Validitas Sampling (Sampling Validity) adalah validitas
yang menunjuk pada sejauh mana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek
yang hendak diukur. Validitas logis sangat penting peranannya dalam penyusunan
prestasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atu table
spesifikasi.
b)      Construct
validity (Validitas konstruk)
Adalah
tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana alat ukur mengungkap suatu trait
atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya (Allen & Yen, dalam Azwar
1986). Pengujian validitas konstruk merupakan prosesyang terus berlanjut
sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur.
Menurut
Saifuddin Azwar, validitas konstruk adalah seberapa besar derajat tes mengukur
hipotesis yang dikehendaki untuk diukur. Konstruk adalah perangai yang tidak
dapat diamati, yang menjelaskan perilaku. Menguji validitas konstruk mencakup
uji hipotesis yang dideduksi dari suatu teori yang mengajukan konstruk
tersebut.
c)      Criterion-related
validity (Validitas berdasar kriteria)
Validitas
ini menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar
pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan
diprediksi oleh skor alat ukur.
2.      Cara
Menentukan Validitas Instrumen
Sebelum
suatu instrumen baru digunakan harus dicari validitasnya, beberapa cara yang
dapat digunakan untuk menentukan validitas instrumen adalah sebagainberikut:
a.       Membandingkan
Tes/Instrumen dengan Kriterium
Dalam
hal ini kriterium adalah instrumen lain yang mengukur aspek yang sama dengan
aspek yang ingin diukur. Instrumen itu telah diakui dan diketahui validitasnya.
Dengan mencari korelasi keduainstrumen itusecara keseluruhan maka akan didapat
harga r nya. Apabila harga r (korelasi) itu setelah dihutung dan dibandingkan
dengan harga r tabel sehingga dinyatakan signifikan, maka dapat dikatak
instrumen tersebut telah lulus uji validitas. Rumus yang dapat digunakan antara
lain:
1)      Kalau
N kelompok uji coba besar sama 30 orang dan data yang dihasilkan adalah data
interval, maka Product Moment Correlation, dapat digunakan. Salah satu rumusnya
adalah:
Keterangan:
Rxy =
Koefisien korelasi tes yang disusun dengan kriterium
X       = skor masing-masing responden variabel X
Y       = skor masing-masing responden variabel Y
N       = jumlah responden
2)      Spearman
Rank Order Correlation. Rumus ini digunakan apabila jumlah N kecil.
Keterangan
D           = Deviasi urutan tiap responden
N           = Jumlah responden
b.      Validitas
Butir Soal
Validitas
keseluruhan soal berkualitas erat dengan validitas tiap butir soal. Apa bila
tiap butir soal mempunyai validitas yang tinggi dalam hubungannya dengan skor
total, maka instrumen itu pada akhirnya juga akan mempunyai validitas yang
tinggi. Rumus yang dapt digunakan adalah Korelasi Biserial: 
Keterangan:
rpbis           =koefisien korelasi biserial
Mt            =Mean total
Mp           = mean skor darisubjek yang menjawab
benar
SDt          = Standar deviasi skor total
P              = proporsi yang menjawab benar
Q             = proporsi yang menjawab salah (q =
1 - p)
E.    Reliabilitas
Walizer (1987) menyebutkan pengertian
Reliability (Reliabilitas) adalah keajegan pengukuran. Menurut John M. Echols
dan Hasan Shadily (2003: 475) reliabilitas adalah hal yang dapat dipercaya.
Popham (1995: 21) menyatakan bahwa reliabilitas adalah "...the degree of
which test score are free from error measurement" (www.teorionline.wordpress.com).
Reliabilitas, atau keandalan, adalah
konsistensi dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal
tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang)
akan memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah
dua orang penilai memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai).
Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat
diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang
seharusnya diukur.
Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.
Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.
Untuk dapat menetukan reliabilitas suatu
instrumen dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.      Metode
Bentuk Paralel (Paralel Form Reliability)
Teknik paralel disebut juga tenik ”double test
double trial”. Sejak awal peneliti harus sudah menyusun dua perangkat
instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang disusun
berdasarkan satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu
selalu harus dapat dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen
tersebut diujicobakan semua. Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil
instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus product moment
(korelasi Pearson).
2.      Metode
Ulangan (Test-Retest)
Disebut juga teknik ”single test double trial”.
Menggunakan sebuah instrument, namun dites dua kali. Hasil atau skor pertama
dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks reliabilitas.
Salah satu cara yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
rxy     = koefisien korelasi antara skor X dan Y
Σxy   =
jumlah perkalian x dan y
Σx     =
jumlah deviasi dari X
Σy     =
jumlah deviasi dari y
3.      Metode
Belah Dua (Split-half Method)
Disebut
juga tenik “single test single trial”. Peneliti boleh hanya memiliki
seperangkat instrument saja dan hanya diujicobakan satu kali, kemudian hasilnya
dianalisis, yaitu dengan cara membelah seluruh instrument menjadi dua sama
besar. Cara yang diambil untuk membelah soal bisa dengan membelah atas dasar
nomor ganjil-genap, atas dasar nomor awal-akhir, dan dengan cara undian. Realibilitas
ini diukur dengan menentukan hubungan antara skor dua paruh yang ekuivalen
suatu tes, yang disajikan kepada seluruh kelompok pada suatu saat. Karena
reliabilitas belah dua hanya mewakili separuh tes yang sebenarnya, rumus
Spearman-Brown dapat digunakan untuk mengoreksi koefisien yang didapat. Perlu
juga mencari korelasi dari kedua kelompok tes tersebut dengan formula sebagai
berikut:
            Keterangan:
            Rho (rs) =Korelasi
            N = jumlah responden
            D = perbedaan R1 – R2
            Untuk dapat mengetahui reliabilitas
instrumen secara keseluruhan maka pada langkah berikutnya hendaklah dicari lagi
korelasinya dengan menggunakan Spearman-Brown formula sebagai berikut:
Keterangan:
rx1x2             = korelasi skor genap dan ganjil
rx x                 =
reliabilitas instrumen
            Sedangkan Flanagan kurang sependapat
dengan Spearman Brown yang mengaanggap bahwa varian untuk masing-masing
kelompok adalah sama karena itu ia mengemukakan formula sebagai berikut:
F.    
KESIMPULAN
Metode
pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan yang dibutuhkan dalam penelitian. Metode (teknik atau cara)
menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya
dapat dilihat penggunaannya melalui: angket, wawancara, pengamatan, ujian
(tes), dokumentasi atau yang lainnya. Peneliti dapat menggunakan salah satu
atau gabungan dari instrumen tergantung dari masalah yang dihadapi. Banyak hal
yang harus diperhatikan dalam penyusunan atau merumuskan suatu instrumen
sebelum instrumen tersebut dapat digunakan dalam pengumpulan data. 
Sebelum
peneliti menggunakan instrumen yang telah disusunnya, atau menggunakan
instrumen orang lain, harus telah mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen,
sehingga instrumen yang akan digunakan benar-benar dapat mengukur, menilai dan
mengungkapkan aspek-aspek yang seharusnya ingin diungkapkan peneliti melalui
penelitian yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Riduwan.
2013. Dasar-Dasar Statistika.
Bandung: Alfabeta
Yusuf,
Muri. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan Penelitian Gabungan. Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar